Senin, 24 Januari 2011

POTENSI BENCANA DUSUN JUNGGO DAN DESA SUMBERBRANTAS BATU MALANG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bencana merupakan peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan manusia sehingga berdampak timbulnya korban jiwa (kerusakan dan dampak psikologis). Setiap bencana pasti menimbulkan resiko bencana yaitu potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah pada kurun waktu yang tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, dan mengungsi. Sehingga dalam suatu bencana diperlukan upaya mitigasi. Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Upaya mitigasi bencana diprioritaskan kepada upaya untuk menanggulangi daerah yang lebih rentan. Kerentanan bencana merupakan suatu keadaan ditimbulkan oleh kegiatan manusia (hasil dari proses fisik, social, ekonomi, dan lingkungan) yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat terhadap bahaya. Pasca bencana upaya yang dapat dilakukan adalah penggulangan bencana yang merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan, kegiatan pencegahan bencana dan rehabilitasi.
Berkaitan dengan bencana, kota batu dengan keadaan geografis yang demikian, potensi bencana yang terjadi adalah potensi bencana erosi dan banjir. Proses pengikisan kulit bumi yang terjadi secara alami dikenal dengan nama erosi alam atau erosi normal. Banjir merupakan suatu keadaan dimana limpasan air permukaan yang berlebihan. Kondisi topografi dari kota Batu yang mempunyai banyak lereng yang curam, sehingga rentan terhadap terjadinya erosi. Pengolahan lahan merupakan upaya mitigasi yang dapat diupayakan pertama kali untuk mengurangi erosi yang terjadi. Bencana banjir hampir setiap musim penghujan melanda Indonesia. Berdasarkan nilai kerugian dan frekuensi kejadian bencana banjir terlihat adanya peningkatan yang cukup berarti. Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam berupa curah hujan yang diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu faktor ulah manusia juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak tepat (pemukiman di daerah bantaran sungai, di daerah resapan, penggundulan hutan, dan sebagainya), pembuangan sampah ke dalam sungai, pembangunan pemukiman di daerah dataran banjir dan sebagainya.
Daerah yang diteliti untuk dijadikan sampel adalah desa Sumberbrantas dan dusun Tulungrejo serta desa Bumiaji. Dari sampel tersebut diharapkan dapat mengetahui potensi bencana yang terjadi serta upaya mitigasi yang tepat utuk masing-masing daerah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam laporan ini adalah:
1. Bagaimana kondisi geografis dari desa Sumberbrantas dan desa Tulungrejo?
2. Bagaimana potensi erosi dan banjir di desa Sumberbrantas dan desa Tulungrejo?
3. Bagaimana mitigasi bencana yang tepat bagi desa Sumberbrantas dan desa Tulungrejo?

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam laporan ini adalah:
1. Menjelaskan kondisi geografis dari desa Sumberbrantas dan desa Tulungrejo.
2. Mengetahui potensi erosi dan banjir di desa Sumberbrantas dan desa Tulungrejo.
3. Mengetahui upaya mitigasi bencana yang tepat terhadap potensi bencana erosi dan banjir di desa Sumberbrantas dan desa Tulungrejo.


BAB II
LANDASAN TEORI DAN KONDISI GEOGRAFIS

2.1 Landasan Teori
2.1.1 Erosi
Erosi adalah lepasnya material padat (sedimen, tanah, batuan dan tertikel lain) dari batuan induknya oleh air, angin, es, gaya gravitasi atau organisme. Erosi oleh Air Erosi ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk:
1. Splash Erosion merupakan erosi oleh butiran air hujan yang jatuh ke tanah karena benturan butiran air hujan, partikel-partikel tanah yang halus terlepas dan terlempar ke udara.

2. Sheet Erosion merupakan erosi oleh air yang jatuh dan mengalir di permukaan tanah secara merata sehingga partikel-partikel tanah yang hilang merata di permukaan tanah. Permukaan tanah menjadi lebih rendah secara merata. Erosi ini terjadi bila permukaan tanah memiliki ketahanan terhadap erosi yang relatif seragam.

3. Riil Erosion merupakan erosi oleh air yang mengalir di permukaan tanah dengan membentuk alur-alur kecil dengan kedalaman beberapa senti meter. Erosi ini terjadi pada permukaan tanah yang landai dan memiliki daya tahan yang seragam terhadap erosi.

4. Gully Erosion merupakan erosi oleh air yang mengalir di permukaan tanah yang miring atau di lereng perbukitan yang membentuk alur-alur yang dalam dan lebarnya mencapai beberapa meter, dan berbentuk “V”.

5. Valley erosion merupakan erosi oleh air yang mengalir di daerah perbukitan yang membentuk lembah-lembah sungai atau lereng-lereng perbukitan. Alur atau lembah berbentuk berbentuk “V”. Erosi dominan secara vertikal.

6. Stream erosion merupakan erosi oleh air dalam bentuk aliran sungai. Lembah sungai berbentuk “U”. Terjadi erosi lateral yang makin ke hilir makin dominan dan dapat membentuk aliran sungai bermeander.

7. Erosi oleh gelombang merupakan erosi terjadi oleh gelombang laut yang memukul ke pantai. Erosi dapat dibedakan menjadi:
• Erosi oleh pukulan gelombang yang memukul ke tebing pantai. Pukulan gelombang menyebabkan batuan pecah berkeping-keping.
• Abrasi atau corrasi (abrasion / corrasion): erosi oleh material yang diangkut gelombang ketika gelombang memukul ke tebing pantai. Erosi oleh Angin Erosi ini terjadi oleh angin yang bertiup. Erosi ini terjadi di daerah yang tidak bervegetasi atau bervegetasi sangat jarang di daerah gurun atau pesisir. Erosi ini dapat dibedakan menjadi berikut.
1. Deflasi: erosi oleh angin yang bertiup dan menyebabkan material lepas yang haalus terangkut.
2. Abrasi: erosi oleh material-material halus yang diangkut oleh angin ketika angin menerpa suatu batuan. Erosi oleh Es Erosi ini terjadi oleh gerakan massa es dalam bentuk gletser. Gletser dapat menyebabkan abrasi atau penggerusan oleh material-material yang diangkutnya; dapat menyebabkan retakan pada batuan karena terurut ketika gletser bergerak. Erosi karena Gravitasi Erosi karena gravitasi terjadi dalam bentuk gerakan tanah atau tanah longsor, yaitu gerakan massa tanah dan atau batuan menuruni lereng karena gaya gravitasi bumi. Gerakan tanah dapat terjadi dalam bentuk, antara lain: rayapan tanah, tanah longsor, atau jatuhan. Erosi oleh Organisme Erosi ini terjadi karena aktifitas organisme yang melakukan pemboran, penggerusan atau penghancuran terhadap batuan. Erosi ini disebut juga bioerosion.
Tiga kelompok yang mempengaruhi terjadinya erosi menurut Morgan (1979) adalah.
- Faktor Energi ( erosivitas, aliran permukaan, angin, relief, sudut lereng, panjang lereng, jarak teras)
- Faktor Ketahanan (erodibilitas, infiltrasi, pengelolaan tanah)
- Faktor pelindung (kepadatan populasi, tanaman penutup, nilai kegunaan lahan, pengelolaan lahan)
Masing-masing dari faktor tersebut adalah mempengaruhi terjadi atau tidak erosi pada suatu tanah/lahan, apabila faktor energi rendah, faktor pelindung baik, dan faktor ketahanan juga baik, maka erosi tanah tidak terjadi. Sebaliknya apabla faktor energi tinggi dan faktor pelindung serta faktor ketahanan rendah maka erosi akan terjadi. Menentukan besar kecilnya erosi menggunakan PUKT atau yang biasanya disebut USLE. Persamaan ini memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi antara lain faktor erosivitas hujan, erodibilitas tanah, faktor panjang dan kecuraman lereng, faktor pengelolaan tanaman, dan faktor pengelolaan tanaman.

2.1.2 Banjir
Banjir adalah dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh karena tersumbatnya sungai maupun karena pengundulan hutan disepanjang sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk maupun menimbulkan korban jiwa. Lebih lengkap bencana banjir memiliki ciri-ciri dan dampak pada lingkungan, sebagai berikut:
1. Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang terus menerus sepanjang hari.
2. Air menggenangi tempat-tempat tertentu dan dengan ketinggian yang tertentu
3. Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah, tanaman, hewan, dan manusia.
4. Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan tanah di tempat-tempat yang rendah
5. Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau
6. Sesudah banjir, linkungan menjadi kotor oleh endapan tanah dan sampah
7. Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka ringan, atau hilangnya orang
8. Banjir dapat menyebabkan kerugian yang besar baik secara moril maupun materiil.
Berdasarkan sumber air yang menjadi penampung di bumi, jenis banjir dibedakan menjadi tiga, yaitu banjir sungai, banjir danau, dan banjir laut pasang. Banjir sungai terjadi karena air sungai meluap, banjir danau terjadi karena air danau meluap atau bendungan jebol, dan banjir laut pasang terjadi antara lain akibat adanya badai dan gempa bumi.
Banjir yang terjadi dapat disebabkan beberapa faktor sebagai berikut
• Curah hujan tinggi
• Permukaan tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut.
• Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keiuar sempit.
• Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran sepanjang sungai.
• Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan di pinggir sungai.
• Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.

2.2 Kondisi Geografis
Kota Batu adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak 15 km sebelah barat Kota Malang, berada di jalur Malang-Kediri dan Malang-Jombang. Kota Batu berbatasan langsung dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan di sebelah utara serta dengan Kabupaten Malang di sebelah timur, selatan, dan barat. Wilayah kota ini berada di ketinggian 680-1.200 meter dari permukaan laut dengan suhu udara rata-rata 15-19 derajat Celsius.
Sampel dari daerah yang diteliti adalah dusun Junggo, desa Sumberbrantas, dan desa Bumiaji.
2.2.1 Kondisi Geografis Dusun Junggo
Junggo adalah salah satu dusun dari Desa Tulungrejo. Luas wilayah Desa Tulungrejo yaitu seluas 38,13 Km persegi atau sekitar 807,019 Ha. Jumlah penduduk 3.000 jiwa yang terdiri 1.625 perempuan dan 1.375 laki-laki demikian informasi dari Kepala Dusun Junggo Bapak Suwaji. Batas wilayah Dusun Junggo yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Dusun Wonorejo, sebelah barat berbatasan dengan dusun Wonorejo
dan sebelah timur dibatasi oleh Hutan Perum Perhutani BKPH Singosari KPH Malang dan Desa Sumbergondo. Sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Gerdu. Dusun Junggo memiliki ketinggian dari permukaan laut yaitu 1.300 s/d 1700 dpl. curah hujan rerata adalah 8,9 mm dengan suhu rata-rata 18 s/d 24 0C. Mata pencaharian penduduk sehari-hari sebagai petani sayur-mayur dan petani apel juga sebagian besar warganya sebagai buruh tani.


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Desa Sumberbrantas

Lokasi pengamatan di daerah Sumberbrantas ini adalah lahan pertanian. Pada lahan pertanian tersebut terletak pada ketinggian 1691m, dengan titik koordinat 07045.78’LS dan 112032.102’. Dari pengamatan diketahui bahwa lahan pertanian ini memiliki tingkat erosi yang sangat peka atau sangat tinggi. Pola tanam yang ada di lahan pertanian ini kurang tepat. Terdapat erosi gully yang sudah nampak batuan induknya. Di lokasi pengamatan juga ditemukan dua jenis erosi yang terjadi yaitu erosi riil dan erosi lembar atau erosi lembar. Pada erosi riil telah menunjukkan adanya alur, erosi ini terjadi pada permukaan tanah yang landai dan memiliki daya tahan yang seragam terhadap erosi. Sedangkan pada erosi lembar atau sheet erosion belum menunjukkan adanya alur. Erosi sheet menyebabkan . Permukaan tanah menjadi lebih rendah secara merata. Erosi ini terjadi bila permukaan tanah memiliki ketahanan terhadap erosi yang relatif seragam.
3.2 Desa bumiaji

Dari hasil pengamatan di lapangan, didapatkan peta potensi bencana seperti di atas. Daerah yang diteliti memiliki ketinggian 853m. Pada tahun 2006, daerah ini pernah terjadi banjir. Koordinat dari lokasi penelitian ini adalah 07052.274’ dan 112032.377’ BT. Daerah ini merupakan lahan baru yang dialih fungsikan dari hutan menjadi lahan pertanian. Adanya pengendapan material sungai di lahan pertanian menunjukkan bahwa daerah ini pernah terjadi banjir yang besar dari luapan sungai yang terjadi pada daerah hulu yang berada di daerah Junggo, disebabkan karena minimnya lahan untuk resapan air. Luapan kiriman tersebut menyebabkan banjir di lokasi penelitian ini karena ketinggian daerah samping sungai tersebut lebih rendah.

3.3 Dusun Junggo
Lokasi penelitian di dusun Junggo ini adalah di daerah sekitar pura Junggo. Pura ini berada pada posisi 07047.141’ LS – 112032.787’BT dengan ketinggian 1612m. Daerah ini merupakan lahan baru dari hasil pembukaan hutan, karena pada tahun 2000 daerah ini masih berupa hutan. Hal ini bisa kita lihat dari ketebalan sollum tanah yang ada. Sollum tanah di daerah Pura dusun Junggo desa Tulungrejo ini memiliki ketebalan >1,5m. Sehingga untuk daerah di sekitar Pura memiliki tingkat bahaya erosi sedang dengan jenis erosi sheet dan riil.
Kenampakan Lereng di Daerah Pura Dusun Junggo Desa Tulungrejo
Kemiringan lereng di daerah sekitar pura Junggo ini tidak terlalu curam. Dengan tingkat bahaya erosi yang sedang, maka langkah pertama yang harus dilakukan untuk unit pengelolaan lahannya adalah dengan menanam tanaman sesuai dengan kontur kemiringan 8-15% karena kemiringan lerengnya adalah antara 13-15%. Berikut deskripsi dari masing-masing daerah pengeprasan di sekitar pura Junggo.
1. Daerah Pengeprasan 1
Daerah ini berada pada 07047.57’LS – 112031.98’ BT, pada lahan ini memiliki tekstur liat. Karena pengeprasan mengikuti dari arah kemiringan lereng maka terdapat potensi longsor. Tanah pada daerah ini mengalami landslide, sehingga pohon yang ada mempunyai posisi miring sesuai dengan arah gerak tanah.

2. Daerah Pengeprasan 2
Pada daerah ini merupakan hasil dari erupsi (aktivitas vulkanisme) sehingga memiliki tekstur berupa pasir, debu dan liat. Dengan kandungan pasir lebih banyak daripada kandungan liatnya, maka daerah ini mempunyai tingkat bahaya longsor lebih besar daripada lahan pengeprasan yang pertama.

3.4 Kesimpulan
Daerah yang mempunyai potensi erosi yang lebih rawan adalah daerah Junggo karena tanahnya berupa tanah regosol yang solum tanahnya masih tebal. Sehingga untuk penanamannya tidak boleh menggunakan tanaman jenis kentang atau wortel karena dapat mempercepat terjadinya erosi. Pada Desa Sumberbrantas, tingkat erosinya sangat tinggi namun tingkat kerawanannya masih di bawah dari daerah Junggo. Banjir yang terjadi di daerah Bumiaji merupakan banjir kiriman yang berasal dari daerah hulu yaitu daerah Junggo.

3.5 Saran
Lahan pertanian yang berada di desa Sumberbrantas hendaknya menggunakan sistem pengelolaan lahan yang sesuai dengan kontur dan kemiringan pada lereng tersebut. Daerah Junggo memerlukan pengelolaan lahan dengan penanaman menurut kontur kemiringan 8-15%, daerah ini juga harus lebih dilakukan reboisasi dan mengurangi kegiatan alih fungsi lahan secara besar-besaran karena dapat mengurangi luas daerah resapan air. Upaya tersebut untuk mengurangi terjadinya banjir yang berdampak pada daeraah lain (daerah hilir).

DAFTAR RUJUKAN

Hanafi, Fadil. 2009. Macam-macam terjadinya erosi. (online), (http://earlfhamfa.wordpress.com/2009/04/23/macam-dan-penyebab-erosi/, diakses tanggal 22 Desember 2010).
Juarti, I.r, M.P. 2004. Bahan Ajar Konservasi Lahan dan Air. Malang. Universitas Negeri Malang.
Rapi. 2008. Banjir. (online), (http://rapi-nusantara.net/info-penting/artikel-banjir.html, diakses tanggal 22 Desember 2010).

Senin, 20 Desember 2010

PENGENALAN BERBAGAI JENIS CITRA PENGINDERAAN JAUH

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah.
1. Pengenalan berbagai jenis citra penginderaan jauh (citra dan citra non-foto)
2. Identifikasi berbagai obyek bentang budaya maupun bentang alam secara monoskopis berdasarkan data penginderaan jauh foto udara dan citra satelit.

B. BAHAN ALAT
1. Foto udara (pankromatik hitam putih).
2. Citra non foto (citra satelit landsat).

C. DASAR TEORI
Citra penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi citra foto dan citra non foto, Citra foto secara umum disebut foto udara; sedangkan cita non foto biasanya diklasifikasikan berdasar spectrum yang digunakan (gelombang mikro dan termal dan atau wahana yang digunakan (Citra Satelit)).
Ada beberapa dasar klasifikasi citra foto, antara lain diklasifikasikan berdasarkan panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan pada waktu pemotretan. Tujuan dari klasifikasi tersebut adalah untuk memudahkan memahami karakteristik obyek muka bumi yang terekam oleh suatu jenis citra foto tertentu. Atau dengan kata lain, dengan menggunakan panjang geombang tertentu akan diperoleh suatu citra foto yang mempunyai karakteristik khusus. Untuk dapat melacak kembali obyek yang terekam pada citra, maka penafsiran harus memahami tentang spectrum yang digunakan pada waktu rekaman disamping beberapa faktor yang lainnya.
Interpretasi foto dilakukan dengan mendasarkan teknik interpretasi foto yang mendasarkan pada delapan unsur interpretasi yakni,
1. Rona atau warna
Merupakan tingkat kegelapan atau kecerahan atas tingkat kecerahan obyek yang terekam pada foto udara. Rona dinyatakan dalam cerah, kelabu, kelabu gelap, dan gelap.
2. Bentuk
Merupakan variabel yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Dinyatakan dalam bentuk bulat, empat segi panjang, segitiga, dsb.
3. Ukuran
Merupakan atribut obyek pada foto udara yang antara lain berupa jarak, luas, kemiringan, isi dan tinggi obyek.
4. Tekstur
Merupakan frekuensi perubahan rona pada foto udara, atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil unutk dibedakan secara individuall. Tekstur dinyatakan dengan tingkatan kasar, sedang, dan halus.
5. Pola
Merupakan pola atau susunan keruangan yang merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah lainnya. Pola dinyatakan sebagai kompak, teratur, tidak teratur, atau agak teratur (campuran).
6. Bayangan
Bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang ada di daerah yang gelap. Bayangan merupakan kunci interpretasi bagi beberapa obyek yang justru lebih mudah dikenali dan lebih nampak dari bayangan, misalnya untuk jenis vegetasi.
7. Situs
Situs dikelompokkan ke dalam tingkat kerumitan interpretasi yang lebih tinggi. Situs bukan merupakan ciri obyek, melainkan dalam kaitan dengan lingkungan sekitarnya atau bisa disebut bahwa situs adalah letak obyek terhadap bentang darat atau letak obyek terhadap obbyek lain disekitarnya. Misalnya situs pohon kopi terletak di tanah yang kering karena tanaman kopi memerlukan pengatusan air yang baik.
8. Asosiasi
Keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Contohnya stasiun kereta api berasosiasi dengan rel kereta api dan deretan gerbong kereta api.

D. CARA KERJA
1. Menyiapkan citra penginderaan jauh (citra foto dan non foto);
2. Mengamati karakteristik citra tersebut dalam merekam obyek muka bumi.
3. Membandingkan kemudahan dalam pengenalan, dan kejelasan maupun kerincian obyek yang diamati tersebut pada setiap citra yang ada. Untuk memperjelas obyek yang diamati, gunakan kaca pembesar (loupe).
4. Mengenali obyek bentang budaya dan obyek bentang alam (masing-masing 5 obyek). Data penginderaan jauh yang digunakan untuk menafsir adalah foto udara pankromatik hitam putih. Dasar yang digunakan untuk melakukan interpretasi adalah unsur-unsur interpretasi dengan menggunakan tabel interprestasi untuk menafsirkan obyek yang dikaji tersebut.
5. Mengerjakan hal yang sama seperti butir 4, tetapi dengan menggunakan cita satelit komposit warna sebagai dasar pengenalan.

E. HASIL
(disajikan dalam kertas transparan)




F. PEMBAHASAN
Hasil interpretasi citra foto udara menunjukkan daerah interpretasi Lamongan memiliki bentang budaya antara lain permukiman, sawah, jalan, pabrik, dan tambak. Semua obyek yang terekam dalam foto udara dapat diinterpretasi dengan baik. Obyek permukiman dicirikan dengan rona kelabu, dengan ukuran luas berbentuk empat segi panjang, tekstur agak kasar karena frekuensi perubahan rona atau warna pada obyek pemukiman sangat banyak. Terdapat bayangan yang mengikuti obyek permukiman ini yaitu bayangan gelap yang mencirikan vegetasi yang ada di permukiman. Asosiasi dari permukiman adalah dekat dengan jalan.
Jalan raya mempunyai rona atau warna yang cerah dengan ukuran yang sempit, berbentuk garis (linier) bertekstur halus dengan pola teratur, tidak dicirikan dengan adanya bayangan namun biasanya didikuti dengan vegetasi yang memanjang mengiringi jalan tersebut. Asosiasi dari obbyek jalan adalah obyek permukiman. Sawah dicirikan dengan rona atau warna kelabu dan bertekstur kasar namun mempunyai pola yang teratur, berasosiasi dengan sungai, pematang dan saluran irigasi, dan untuk irigasi sendiri mempunyai rona yang kelabu dengan bentuk garis (linier) yang membentuk pola teratur asosiasinya adadalah dengan sungai dan sawah.Bentang budaya yang lain yaitu pabrik dan tambak. Untuk pabrik mempunyai rona yang cerah dengan bentuk segiempat dicirikan dengan pola teratur yang dekat dengan permukiman dan jalan.
Bentang alam yang terekam dalam foto udara daerah Lamongan adalah obyek sungai dengan rona kelabu karena biasanya perairan dicirikan dengan warna kelabu atau gelap. Luas obyek sungai adalah sempit karena bentuknya yang seperti garis namun berkelok-kelok dengan diikuti bayangan yang mencirikan adanya vegetasi yang memanjang mengikuti bentuk sungai tersebut. Pola dari obyek sungai ini adalah teratur dan berasosiasi dengan sawah.
Pada Citra satelit bentang budaya yang terekam dengan jelas antara lain permukiman dan sawah. Permukiman dicirikan dengan warna merah bata dengan bentuk hampir seperti empat segi panjang dengan tekstur yang halus dengan pola tidak teratur Karena pola susunannya tidak teratur. Pada citra satelit propinsi Bali ini permukiman berasosiasi dengan perairan. Sawah dicirikan dengan warna hijau muda atau hijau kekuningan dengan ukuran yang luas berbentuk segiempat dengan pola yang tidak teratur dan tidak ada bayangan.
Bentang alam yang terekam oleh citra satelit dan dapat diinterprretasi dengan mudah adalah perairan, hutan, dan bukit. Perairan dicirikan dengan warna gelap atau hitam dengan situs laut. Hutan dicirikan dengan warna hijau tua dengan pola yang agak teratur, tidak ada bayangan namun berasosiasi dengan sawah dan bukit. Bukit sendiri dicirikan dengan warna coklat atau hijau coklat. Dengan pola yang teratur dan berasosiasi dengan sawah, karena bukit sering berkaitan dengan sawah.

G. KESIMPULAN
Citra foto dapat menmpakkan obyek linier (sungai, jalan), permukiman dan daerah dengan jelas daripada citra satelit meskipun rona atau warnanya hanya hitam, gelap, kelabu, dan putih / cerah. Citra satelit tidak dapat menampakkan hal tersebut dengn jelas namun dapat menunjukkan warna sesungguhnya dari obyek serta ketingian dari obyek tersebut.

H. DAFTAR PUSTAKA
Suryantoro, Agus. 2006. Handout Penginderaan Jauh. Universitas Negeri Malang.

WILAYAH PESISIR DAN PROSESNYA

A. WILAYAH PESISIR
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002).
Berdasarkan batasan tersebut di atas, beberapa ekosistem wilayah pesisir yang khas seperti estuaria, delta, laguna, terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), hutan mangrove, hutan rawa, dan bukit pasir (sand dune) tercakup dalam wilayah ini. Luas suatu wilayah pesisir sangat tergantung pada struktur geologi yang dicirikan oleh topografi dari wilayah yang membentuk tipetipe wilayah pesisir tersebut.
Perbedaan antara pantai dan pesisir yaitu pantai adalah bagian dari permukaan bumi yang terdekat dgn permukaan laut dan dipengaruhi oleh kondisi cuaca dari laut. Pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas.
B. Pembagian Zone Wilayah Pesisir
Setiap zone perairan dipesisir mengalami proses mengahasilkan struktur sedimen yang khas dan berbeda satu sama lainnya. Berdasarkan hal ini zone pesisir dibagi menjadi backshore, foreshore, shoreface, dan offshore.
1. Backshore terletak diantara batas bawah gumuk pasir (sand dune) hingga ke garis air pasang paling tinggi (mean high water line). Jadi Backshore terdapat di amabang pantai (beach bar).
2. Foreshore yaitu zone pasang surut, kawasan yang terletak di antara batas atas dan bawah pasang air laut disebut. Backshore dan foreshore merupakan bagian atas dari pesisir pantai. Dikawasan ini terdapat zone pemecah, zone swash dan arus sepanjang pantai (longshore current). Sehingga kawasan ini menerima tenaga aliran yang kuat. Sedimen-sedimen yang ada diwilayah ini kebanyakan terdiri dari material pasir.
3. Shoreface yaitu zone yang berbatasan dengan zone peralihan. Batas bawah shoreface bergantung pada rata-rata dasar gelombang maksimal (average maximum wave base). Di kawasan shoreface sedimennya terdiri dari pasir bersih, dibagian atas shoreface terdapat arus pesisir pantai. Pada saat cuaca buruk arus ini akan bertambah kuat dan akan mengkikis bagian atas shoreface dan mengendapkannya semula di bagian bawah shoreface atau membawanya kearah daratan seperti laguna. Jadi dibagian shoreface sedimennya makin kasar kearah daratan dan riak simetri berubak menjadi tak simetri dan gumuk (Clifton, 1967). Bagian bawah shoreface terdiri dari lapisan dan percampuran antara lumpur dan pasir, tetapi pada saat cuaca buruk bagian bawahnya mengalami tindakan gelombang dan akibatnya endapan pasir akan percampuran lumpur dan pasir akan terbentuk di kawasan ini.
4. Offshore merupakan zone lepas pantaiyang mengarah kelaut.
Selain pembagian diatas wilayah pesisir juga dapat dibagi berdasarkan kedalamannya, yaitu:
1. Zona Lithoral, adalah wilayah pantai atau pesisir atau “shore”. Di wilayahini pada saat air pasang tergenang air dan pada saat air laut surut berubahmenjadi daratan. Oleh karena itu wilayah ini sering disebut juga wilayah pasang surut.
2. Zona Meritic (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang surut hingga kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh sinar matahari sehingga wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuhan-tumbuhan, contoh Jaut Jawa, Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut disekitar kepulauan Riau.
3. Zona Bathyal (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki kedalaman antara 150 hingga 1800 meter. Wilayah ini tidak dapat ditembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak sebanyak yang terdapat di zona meritic.
4. Zona Abysal (wilayah laut sangat dalam), yaitu wilayah laut yang memiliki kedalaman lebih dari 1800 m. Di wilayah ini suhunya sangat dingin dan tidak ada tumbuh-tumbuhan, jenis hewan yang hidup di wilayah ini sangat terbatas.
C. Proses yang Terjadi di Wilayah Pesisir
Daerah pesisir merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan, karena daerah tersebut menjadi tempat bertemunya dua kekuatan, yaitu berasal dari daratan dan lautan. Perubahan lingkungan pesisir dapat terjadi secara lambat hingga sangat cepat, tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan dan sifat-sifatnya dengan gelombang, pasang surut dan angin. Perubahan pesisir terjadi apabila proses geomorfologi yang terjadi pada suatu segmen pesisir melebihi proses yang biasa terjadi. Perubahan proses geomorfologi tersebut sebagai akibat dari sejumlah faktor lingkungan seperti faktor geologi, geomorfologi, iklim, biotik, pasang surut, gelombang, arus laut, dan salinitas (Sutikno, 1993 dalam Johanson D. Putinella, 2002).
D. Geomorfologi Wilayah Pesisir
Proses-proses utama yang sering terjadi di wilayah pesisir meliputi: sirkulasi massa air, percampuran (terutama antara dua massa air yang berbeda), sedimentasi dan abrasi serta upwelling. Bentukan-bentukan yang umum terdapat diwilayah pesisir adalah sebagai berikut:
1. Pesisir Pantai (Beach) adalah yaitu pesisir diantara garis pasang naik dan pasang surut.
2. Laguna adalah air laut dangkal yang memiliki luas beberapa mil, sering merupakan teluk atau danau yang terletak diantara pulau penghalang dengan pantai.
3. Pulau Penghalang (Barrier Island) adalah gosong pasir yang tersembul dipantai yang dipisahkan dari pantai oleh laguna. Pulau penghalang ini bias berbentuk sebagai spit atau gumuk pasir yang dibentuk oleh angin atau air.
4. Delta adalah deposit lumpur, pasir, atau kerikil (endapan alluvium) yang mengendap di muara suatu sungai. Delta dibagi menjadi tiga berdasarkan bentuknya, yaitu Delta Arcuate (Berbentuk kipas), Delta Cuspate (Berbentuk gigi tajam), Delta Estuarine (Berbentuk estuarine).
5. Goa Laut (Sea Cave) merupakan goa yang terbentuk pada terbing terjal (cliff) atau tanjung (headland) sebagai akibat erosi dari hantaman gelombang dan arus.
6. Sea Arch merupakn sea cave yang telah tereosi sangat berat akibat dari hantaman ombak.
7. Sea Stack merupakan tiang-tiang batu yang terpisah dari daratan yang tersusun dari batuan yang resisten sehingga masih bertahan dari hantaman gelombang.
8. Rawa Air Asin (Salt Marsh) merupakan rawa yang terbentuk akibat genangan air laut di dinggir pantai.
9. Head Land yaitu batuan daratan resisten yang menjorok kelaut sebagai akibat erosi gelombang.
10. Bar yaitu gosong pasir dan kerikil yang terletak pada dasar laut dipinggir pantai yang terjadi oleh pengerjaan arus laut dan gelombang. Kadang-kadang terbenam seluruhnya oleh air laut. Beberapa jenis bar antara lain:
• Spit yaitu yang salah satu ujunganya terikat pada daratan, sedangkan yang lainnya tidak. Bentuknya kebanyakan lurus sejajar dengan pantai, tetapi oleh pengaruh arus yang membelok ke arah darat atau oleh pengaruh pasang naik yang besar, spit itupun membelok pula ke arah darat yang disebut Hook atau Recurved Spit (Spit Bengkok).
• Baymouth Bar adalah spit yang kedua ujungnya terikat pada daratan yang menyeberang dibagian muka teluk.
• Tombolo adalah spit yang menghubungkan pulau dengan daratan induk atau dengan pulau lain, contohnya daratan antara Pulau Pananjung dengan daratan induknya Pulau Jawa.

SEDIMENTASI LAUT

A. RINGKASAN MATERI
Gross (1990) mendefinisikan sedimen laut sebagai akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk lewat proses kimia yang terjadi di laut.
Asal sedimen laut antara lain.
• Lithogenous sedimen (Batuan)
• Biogenous sedimen (tumbuhan dan hewan)
• Hydrogenous sedimen (reaksi kimia dlm air laut)
• Cosmogenous sedimen (partikel luar angkasa).
Klasifikasi sedimen laut berdasarkan lokasi (sebaran sedimen laut) dapat dibagi menjadi beberapa tipe sedimen yaitu:
a. Neritik sedimen, yang tersebar pada paparan benua, lereng benua kaki benua yang memiliki sumber material dari lithogenous, biogenous, hidrogeous dan kosmogenous. Komposisi utamanya berasal dari material terrigenous yang dibawa kelaut dengan aliran sungai maupun aliran permukaan. Ukuran butirnya yang besar sehingga dapat dijumpai endapan dari yang berbutir kasar sampai yang terhalus.
b. Pelagik sdimen yang tersebar pada perairan laut dalam dengan memiliki sumber material dai lithogeous, biogenous, hidrogeous dan kosmogenous. Variasi ukuran butirnya sangat kecil sehingga hanya dapat dijumpai material yang berbuitir halus dan tersebar secara merata pada perairan laut dalam.
c. Bathyal, sedimen yang tersebar pada perairan dengan kedalaman 200-3700 m dengan sumber material sumber matarial berasal dari terrigenous, biogenous hydrogenous dan cosmogenous.
d. Abyssal, sedimen yang berada pada kedalaman 3700-6000 m dengan sumber matarial yang berasal dari terrigenous, biogenous, hydrogenous dan cosmogenous.
e. Hadal, sedimen yang berada pada kedalaman 6000 m dengan sumber material yang berupa lempung dan debu.

Analisis Iklim Kecamatan tarik Kabupaten Sidoarjo

Iklim adalah sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979). Ahli lain menyebutkan bahwa iklim merupakan konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsur-unsur atmosfer disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Glenn T. Trewartha, 1980). Ada pula yang menyebutkan bahwa iklim adalah peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).
Ada beberapa unsur yang mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim suatu daerah atau wilayah, yaitu: suhu atau temperatur udara, tekanan udara, angin, kelembaban udara, dan curah hujan. Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi). Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002).
Thornthwaite (1933) dalam Tjasyono (2004) menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif terutama presipitasi dan suhu. Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus. Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia sering ditekankan pada pemanfaatannya dalam kegiatan budidaya pertanian. Pada daerah tropik suhu udara jarang menjadi faktor pembatas kegiatan produksi pertanian, sedangkan ketersediaan air merupakan faktor yang paling menentukan dalam kegiatan budidaya pertanian khususnya budidaya padi.
Variasi suhu di kepulauan Indonesia tergantung pada ketinggian tempat (altitude/elevasi), suhu udara akan semakin rendah seiring dengan semakin tingginya ketinggian tempat dari permukaan laut. Suhu menurun sekitar 0.6 oC setiap 100 meter kenaikan ketinggian tempat. Keberadaan lautan disekitar kepulauan Indonesia ikut berperan dalam menekan gejolak perubahan suhu udara yang mungkin timbul (Lakitan, 2002). Menurut Hidayati (2001) karena Indonesia berada di wilayah tropis maka selisih suhu siang dan suhu malam hari lebih besar dari pada selisih suhu musiman (antara musim kemarau dan musim hujan), sedangkan di daerah sub tropis hingga kutub selisih suhu musim panas dan musim dingin lebih besar dari pada suhu harian. Kadaan suhu yang demikian tersebut membuat para ahli membagi klasifikasi suhu di Indonesia berdasarkan ketinggian tempat.
Hujan merupakan unsur fisik lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum, oleh karena itu klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia (Asia Tenggara umumnya) seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama (Lakitan, 2002). Tjasyono (2004) mengungkapkan bahwa dengan adanya hubungan sistematik antara unsur iklim dengan pola tanam dunia telah melahirkan pemahaman baru tentang klasifikasi iklim, dimana dengan adanya korelasi antara tanaman dan unsur suhu atau presipitasi menyebabkan indeks suhu atau presipitasi dipakai sebagai kriteria dalam pengklasifikasian iklim.
Beberapa sistem klasifikasi iklim yang sampai sekarang masih digunakan dan pernah digunakan di Indonesia antara lain adalah:
a. Iklim Junghuhn
Junghuhn melakukan klasifikasi iklim di Indonesia berdasarkan ketinggian tempat dihibungkan dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Junghuhn membagi iklim menjadi empat zone/daerah iklim, yaitu:
1. Zone Panas, daerah yang berada pada ketinggian 0 – 600 m dpl. Suhu udara rata-rat di atas 220C. Tanaman budidaya yang cocok antara lain tembakau, kelapa, padi, jagung.
2. Zone Sedang, ketinggian antara 600 – 1500 m dpl. Suhu udara antara 220C – 170C. Tanaman budidaya yang tumbuh antara lain tembakau, padi, kopi, the, coklat, sayur-sayuran.
3. Zone Sejuk, ketinggian antara 1500-2500 m dpl. Suhu udara antara 170 – 110C. Tanaman budidaya yang tumbuh antara lain kina, kopi, the, sayur-sayuran, pinus.
4. Zone Dingin, ketinggian 2500 m dpl ke atas. Suhu udara di bawah 110C dan tidak ada tanaman budidaya yang tumbuh.
b. Iklim Koeppen
Koppen membuat klasifikasi iklim berdasarkan perbedaan temperatur dan curah hujan. Koppen memperkenalkan lima kelompok utama iklim di muka bumi yang didasarkan kepada lima prinsip kelompok nabati (vegetasi). Kelima kelompok iklim ini dilambangkan dengan lima huruf besar yaitu antara lain;
• tipe iklim A adalah tipe iklim hujan tropik (tropical rainy climates) merupakan iklim hujan tropis tanpa musim dingin
• iklim B adalah tipe iklim kering (dry climates)
• iklim C adalah tipe iklim hujan suhu sedang (warm temperate rainy climates)merupakan iklim hujan lilntang menengah dengan musim dingin ringan
• iklim D adalah tipe iklim hutan bersalju dingin (cold snowy forest climates) merupakan iklim hujan lintang menengah dengan musim dingin yang berat
• iklim E adalah tipe iklim kutub (polar climates) merupakan iklim kutub tanpa musim hangat
Daerah di Indonesia memiliki iklim tipe A (tropical rainy climate). Iklim A mempunyai suhu bulan terdingin > 180C (16,440F) dengan suhu bulanan < 180C tanaman tropis tertentu yang peka tidak dapat hidup , jadi wilayah iklim ini merupakan kawasan tanaman megater yang memerlukan suhu yang tinggi secara terus-menerus dan hujan melimpah. Kelompok iklim A, yaitu:
a. Af (iklim basah tropis), f: curah hujan pada bulan paling kering
( 2,4 inchi). Iklim ini terdapat variasi musiman suhu minimum dan hujan yang tetap tinggi sepanjang tahun.
b. Aw (iklim tropis, basah dan kering). w: misim kering yang jelas dalam periode musim dingin. Iarma curah hujan musiman yang jelas, sekurang-kurangnya 1 bulan <60 mm (2.4 inchi). Suhu sama dengan Af.
c. Am (Muson)/ musim kering singkat. Am adalah tipe iklim antara Af dan Aw, menyerupai Af dalam jumlah hujan dan Aw dalam distribusi musiman. Curah hujan pada Aw dan Am bulan terkering <60 mm. Aw atau Am tergantung pada jumlah curah hujan tahunan dan jumlah yang terjadi pada bulan terkering. Koppen mengemukakan jenis iklim Am sangat penting bagi Indonesia. Iklim Am menunjukkan iklim tropis dimana jumlah curah hujan <60 mm selama 1 bulan atau lebih tetapi pada bulan-bulan lainnya jumlah curah hujannya besar. Dengan keadaan seperti ini diduga bahwa tanaman tidak dipengaruhi oleh kekeringan untuk sementara waktu.
c. Iklim Thornthwaite
C.W Thornhwaite (1993) membuat klasifikasi iklim berdasarkan pada curah hujan yang sangat penting untuk tanaman, sehingga selain jumlah curah hujan juga pada intensitas penguapan. Jika penguapan besar, curah hujan yang dipakai oleh tanaman akan lebih kecil daripada penguapannya kecil, pada jumlah curah hujan yang sama. Thornthwaite menghitung ratio keefektifan curah hujan atau ratio P-E, sebagai jumlah curah hujan (P=presipitasi) bulanan dibagi dengan jumlah penguapan (E=evaporasi) bulanan, yaitu ratio P-E = P/E. Jumlah 12 bulan ratio P-E disebut indeks P/E.
Rumus ratio P-E = 115 (P/T-10)10/9
Indeks P-E = ∑115 (Pi/Ti-10) 10/9
Keterangan:
P = presipitasi bulanan dalam inchi
T = Suhu bulanan rata-rata dalam 0F
I = 1,2,3…..
Tabel 1 Golongan Kelembaban menurut Thorntwaite
Golongan Kelembaban Keefektifan Tanaman Indeks P-E
A. Basah
B. Lembab
C. Sub Humid
D. Semi arid
E. Arid Hutan hujan
Hutan
Padang rumput
Stepa
Gurun ≥ 128
64-127
32-63
16-31
<16

Selain itu Thornthwaite mengemukakan adanya efisiensi panas dengan menggunakan rumus ratio T-E dan indeks T-E.
Rumus ratio T-E = (T-32)/4 dan
Indeks T-E = ∑12 (Ti-32)/4
Tabel 2 Golongan Suhu Menurut Thornthwaite
Golongan Suhu Indeks T-E
A’ = tropis
B’ = mesothermal
C’ = microthermal
D’ = taiga
E’ = tundra
F’ = salju abadi ≥ 128
64-127
32-63
16-31
1-15
0

Masing-masing golongan kelembaban dan golongan suhu dikonfirmasikan dengan penyebaran curah hujan musiman. Penyebaran curah hujan musiman dibedakan:
r = curah hujan banyak pada setiap musim
s = defisit curah hujan pada musim panas
w = defiisit curah hujan pada musim dingin
d = defisit curah hujan pada setiap musim
d. Iklim Mohr
Berdasarkan penelitian tanah, Mohr memebagi tiga derajat kelembaban dari bulan-bulan sepanjang tahun yaitu:
a. Jika curah hujan dalam satu bulan lebih dari 100mm, maka bulan ini dinamakan bulan basah, jumlah curah hujan ini melampaui penguapan
b. Jika curah hujan dalam satu bulan kurang dari 60mm, maka bulan ini dinamakan bulan kering, penguapan banyak berasal dari dalam tanah daripada curah hujan. Dalam hal ini penguapan lebih banyak daripada curah hujan.
c. Jika curah hujan dalam satu bulan antara 60mm dan 100mm maka bulan ini dinamakan bulan lemba, curah hujan penguapan kurang lebih seimbang
Berdasarkan kriteria tersebut maka dicari bulan-bulan kering dan bulan-bulan basah setiap tahun, sehingga ditemukan lima golongan yaitu:
Golongan I : daerah basah, yaitu daerah yang hampir tidak terdapat bulan kering
Golongan II : daerah agak basah yaitu daerah dengan bulan kering 1-2 bulan
Golongan III : daerah agak kering yaitu daerah dengan bulan kering 3-4 bulan
Golongan IV : daerah kering yaitu terdapat 5-6 bulan kering
Golongan V : daerah sangat kering, dengan bulan >6 bulan
e. Iklim Schmidt-Ferguson
Schmidt dan Ferguson (1951) menerima metode Mohr dalam menentukan bulan-bulan kering dan bulan-bulan basah, tetapi cara perhitungannya berbeda Schmidt dan Ferguson menghitung jumlah bulan-bulan kering dan bulan-bulan basah dari tiap-tiap tahun kemudian baru diambil rata-ratanya
Untuk menentukan jenis-jenis iklimnya, Schmidt dan Ferguson menggunakan harga Qoutient Q yang didefinisikan sebagai:
Q = (Jumlah rata-rata bulan-bulan kering/jumlah rata-rata bulan-bulan basah)x100%
Tiap tahun pengamatan dihitung jumlah bulan-bulan kering dan bulan-bulan basah, kemudian baru dirata-ratakan selama periode pengamatan (misalnya 30 tahun). Dari sini kita peroleh jumlah rata-rata bulan kering dan jumlah rata-rata bulan basah. Misalkan jumlah rata-rata bulan kering = 4 dan jumlah rata-rata bulan basah = 8 maka diperoleh harga Q = 0,50 yang berarti tipe iklim C (agak basah).
Dari harga Q yang ditentukan pada persamaan di atas kemudian Schmidt dan Ferguson menentukanjenis iklimnya yang ditandai dari iklim A sampai iklim H sebagai berikut:
Tabel 3 Klasifikasi Iklim Schmidt-Ferguson
Climate Type Q value (%) Condition of climate and vegetation
A
B
C
D
E
F
G
H <14,3
14,3 – 33,33
33,3 – 60,0
60,0 – 100,0
100,0 – 167,0
167,0 – 300,0
300,0 – 700,0
>700,0 Very wet region, tropical rain forest
Wet region, tropical rain forest
Somewhat wet region, deciduous forest, in dry season
Moderately climate, savanna forestDry climate, seasonal forest
Somewhat dry climate, savanna forest
Dry climate, savanna forest
Very dry climate, grass
Extremely dry climate, grass

f. Iklim Oldeman
Klasifikasi menurut Oldeman didasarkan pada keberurutan bulan basah dan bulan kering tanpa memeperhitungkan suhu. Oldeman menetapkan bahwa bulan basah dengan vurah hujan >200mm, sedangkan bulan kering dengan curah hujan <100mm sedangkan curah hujan antara 100-200mm merupakan bulan lembab. Oldeman membuat klasifikasi iklim dengan tujuan membantu usaha pertanian terutama tanaman padi, berdasarkan bulan basah dan bulan kering.
Tabel 4 Kriteria klasifikasi iklim (Agroklimat) Oldeman
Main Type Wet month consecutively Sub division Dry month respectively
A
B
C
D
E >9
7-9
5-6
3-4
<3 1
2
3
4
<2
2-3
4-6
>6

2. Tujuan
Tujuan pratikum analisis iklim ini adalah:
a. Melatih mahasiswa melakukan pengukuran iklim.
b. Melatih mahasiswa menganalisis iklim.
c. Mengetahui konndisi iklim wilayah yang dianalisis.

3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam analisis iklim terdiri dari:
- Alat tulis (Kertas dan pensil/bolpoint)
- Peta
- Kertas Milimeter
- Kalkulator

4. Langkah Kerja
Langkah kerja yang harus dilakukan dalam analisis iklim wilayah adalah sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Menyiapkan data curah hujan selama 5 tahun di suatu wilayah, misalnya data curah hujan kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo.
3. Menyiapkan data suhu selama 5 tahun di suatu wilayah, misalnya data curah hujan kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo.
4. Melakukan klasifikasi iklim menurut
a. Junghun dengan cara:
- Menentukan ketinggian wilayah tersebut.
- Menentukan klasifikasi iklim menurut Junghun.
b. Koeppen dengan cara:
- Menentukan rata-rata suhu bulan terdingin dan rata-rata suhu bulan terpanas.
- Merubah rata-rata suhu tersebut dari 0C ke 0F, dengan rumus
= (9/5*0C)+32
- Menentukan iklim berdasarkan Koeppen
- Menentukan curah hujan pada bulan paling kering.
- Merubah rata-rata CH(mm) ke dalam inchi, dengan rumus
1 inchi = 2.54 cm
1mm = 0.1 cm maka 1 inchi = 25.4 mm
- Menentukan derajat kering
- Menggambar pembagian tipe iklim
c. Thornthwaite
- Mengonversikan data suhu menjadi satuan fahrenhait dan mengonversikan data curah hujan ke satuan inchi
- Menghitung ratio P-E dan ratio T-E
- Mengkonfirmasikan sebaran curah hujan dari data tersebut
- Menentukan iklim tornthwaite berdasarkan hasil perhitungan tersebut
d. Mohr
- Menghitung bulan basah dan bulan kering yang terjadi dalam rata-rata 5 tahun tersebut
- Menentukan golongan iklim berdasarkan hasil perhitungan bulan kering
e. Schmidt dan Ferguson dengan cara:
- Menghitung jumlah rata-rata bulan-bulan kering.
- Menghitung jumlah rata-rata bulan-bulan basah.
- Menentukan harga quotient(Q), yang didefinisikan sebagai:

- Dari harga Q, menetukan iklim, jenis iklim yang telah diklasifikasikan oleh Schmidt dan Ferguson dari iklim A sampai iklim H.
- Menggambar diagram iklim Schmidt-Ferguson.

f. Oldeman
- Menghitung bulan bsah dan bulan kering yang terjadi dalam rata-rata 5 tahun
- Menentukan iklim sesuai dengan jumlah bulan basah dan bulan kering yang telah dihitung
5. Membandingkan iklim suatu wilayah (kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo) berdasarkan klasifikasi menurut Junghun, Koeppen, Thornthwaite, Mohr, Schmidt-Ferguson, dan Oldeman.
6. Menggambarkan Klimatograf

5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 5 Data Curah Hujan Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo
BULAN 2003 2004 2005 2006 2007 RATA2 INCH
JAN 450 375 355 226 238 328.8 13.15
FEB 533 341 475 353 210 382.4 15.30
MAR 364 529 156 53 293 279.0 11.16
APR 42 91 163 179 172 129.4 5.18
MEI 340 62 46 160 48 131.2 5.25
JUN 37 14 122 34.6 1.38
JUL 24 4.8 0.19
AGUST
SEPT
OKT 38 9 40 17.4 0.70
NOV 199 256 156 24 48 136.6 5.46
DES 333 266 545 243 597 396.8 15.87
JUMLAH 2336 1934 2051 1238 1646 1841.0 73.64
RATA2 259.56 241.75 205.1 176.86 205.75 217.8 8.71
Tabel 6 Data Suhu Kecamatan Tarik Kabupaten Sidoarjo
BULAN 2003 2004 2005 2006 2007 RATA2 0F
JAN 27 29 27 26 28 27.4 81.32
FEB 28 27 28 27 29 27.8 82.04
MAR 29 28 27.5 28 27.5 28.0 82.40
APR 29.5 27.5 28 29 29 28.6 83.48
MEI 30 29 27 27 28 28.2 82.76
JUN 27 28 29 30 30 28.8 83.84
JUL 28 28.5 28.5 28 28 28.2 82.76
AGUST 29.5 28 30 28 28.5 28.8 83.84
SEPT 28 27.5 29 29 29 28.5 83.30
OKT 27 26 27.5 27 27 26.9 80.42
NOV 27.5 26 28 28 27.5 27.4 81.32
DES 26.5 27 26.5 27 28 27.0 80.60
JUMLAH 337 331.5 336 334 339.5 335.6 988.08
RATA2 28.08 27.63 28 27.83 28.29167 28.0 82.34

1. Iklim Junghun
Kecamatan Tarik Kabupaten sidoarjo mempunyai ketinggian 16 m dpl, berdasarkan iklim Junghunh merupakan zone panas yang memiliki suhu rata-rata 220, namun kecamatan Tarik meiliki suhu rata-rata 280. Tanaman budidaya yang cocok adalah tembakau, kelapa, padi dan jagung. Tanaman yang dapat ditemukan di kecamatan tarik antara lain padi dan jagung. Berikut diagram iklim Junghunh untuk kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo.
















2. Iklim Koeppen
Curah hujan bulan terkering dalam rata-rata data curah hujan selama 5 tahun di kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo adalah 0,19 inchi dengan curah hujan tahunan 73,64 inchi. Sehingga jika ditarik pada diagram angka tersebut berada pada zone iklim Aw yang merupakan iklim tropis, basah dan kering. Musim kering yang jelas dalam periode musim dingin. Iram curah hujan musiman jelas, sekurang-kurangnya <60mm (2,4 inchi). Berikut diagram perhitungan dari iklim Koeppen untuk kecamatan tarik kabupaten Sidoarjo.




3. Iklim Mohr
Jumlah bulan kering dalam rata-rata 5 tahun adalah
Tahun 2003 = 6
Tahun 2004 = 5
Tahun 2005 = 5
Tahun 2006 = 7
Tahun 2007 = 7 +
Jumlah = 30 rata-rata 30/5 = 6 termasuk dalam golongan IV yaitu daerah kering
4. Iklim Oldeman
Jumlah bulan kering rata-rata dalam 5 tahun
Tahun 2003 = 6
Tahun 2004 = 7
Tahun 2005 = 5
Tahun 2006 = 7
Tahun 2007 = 7
Jumlah rata-rata bulan kering = 6,4 sub divisi 4
Jumlah bulan basah rata-rata dalam 5 tahun
Tahun 2003 = 5
Tahun 2004 = 5
Tahun 2005 = 3
Tahun 2006 = 3
Tahun 2007 = 4
Jumlah rata-rata bulan basah = 4 tipe D
Jadi berdasarkan perhitungan iklim Oldeman kecamatan tarik Kabupaten sidoarjo termasuk dalam iklim D4.
5. Schimdt dan Ferguson
Dalam perhitungan iklim Schmidth dan Ferguson dapat dilakukan dengan menghitung bulan kering dan bulan basah.
2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata
Bulan Kering
Bulan Basah
Bulan lembab 6
6
- 4
7
1 5
7
- 7
5
- 7
5
- 5,8
6
0,2

Hasil perhitungan tersebut dimasukkan dalam diagram iklim Schimdth dan Ferguson, nilai dari bulan basah dan bulan kering ditarik garis sehingga titik perpotongannya merupakan golongan iklim. Berdasarkan diagram Schmidth-Ferguson termasuk dalam golongan iklim C.
Berdasarkan data curah hujan dan suhu selama 5 tahun yaitu antara tahun 2003 sampai 2007 dapat diketahui fluktuasi suhu dan curah hujan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik klimatograf berikut:

















Dari klimatograf dapat diketahui bahwa fluktuasi curah hujan lebih tajam atau lebih bervariasi daripada fluktuasi suhu.

PEMBAHASAN
Kecamatan Tarik terdapat di wilayah paling selatan sisi barat pada Kabupaten Sidoarjo. Luas wilayah kecamatan Tarik adalah 32,50 Ha dengan jumlah penduduk 53645 jiwa. Kecamatan Tarik Merupakan wilayah yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian pada bidang pertanian. Luas lahan produksi panen padi di kecamatan tarik adalah 2.668 Ha dan luas lahan panen dari jagung adalah 43 Ha.
Berdasarkan perhitungan iklim Junghunh, kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo merupakan zone panas dengan yang meiliki suhu rata-rata 280. Tanaman budidaya yang cocok adalah tembakau, kelapa, padi dan jagung. Tanaman yang dapat ditemukan di kecamatan tarik antara lain padi dan jagung, untuk tembakau dan kelapa jarang ditemukan di kecamatan Tarik. Berdasarkan perhitungan iklim Koeppen, iklim di kecamatan Tarik termasuk iklim Aw dengan curah hujan bulan terkering dalam rata-rata data curah hujan selama 5 tahun adalah 0,19 inchi dengan curah hujan tahunan 73,64 inchi. Iklim Aw yang merupakan iklim tropis, basah dan kering. Musim kering yang jelas dalam periode musim dingin. Irama curah hujan musiman jelas, sekurang-kurangnya <60mm (2,4 inchi).
Perhitungan iklim Mohr menunjukkan bahwa wilayah kecamatan Tarik termasuk golongan IV yang masuk dalam kategori daerah kering. Sama halnya dengan iklim Junghunh dan iklim Koeppen yang menyatakan bahwa wilayah kecamatan Tarik merupakan daerah panas dan daerah kering yang jelas. Berdasarkan perhitungan iklim Oldeman termasuk iklim D4 yang dicirikan dengan adanya pola tanam padi dan hanya sekali atau dua kali tanaman palawija dalam satu tahun musim panen. Di kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo, pola tanamnya lebih banyak didominasi oleh tanaman padi. Perhitungan iklim menurut Schmidth-Ferguson menunjukkan bahwa wilayah kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo merupakan daerah yang agak basah namun tetap ada musim kering yang jelas.
Hasil perhitungan iklim menunjukkan bahwa wilayah kecamatan Tarik kabupaten Sidoarjo merupakan daerah kering. Dilihat dari ketinggian kecamatan Tarik termasuk pada dataran rendah yang mempunyai cirri panas karena pola keruangannya, kerapatan vegetasinya jarang, dan kondisi lingkungan yang dekat dengan pantai.
6. KESIMPULAN
Berdasarkan perhitungan iklim di atas dapat disimpulkan bahwa wilayah kecamatan tarik kabupaten sidoarjo merupakan daerah panas dan kering. Dengan tanaman yang cocok adalah padidan tanaman palawija misalnya jagung.
7. DAFTAR PUSTAKA
Utomo, Dwiyono Hari. 2004. Meteorologi-Klimatologi dalam studi geografi. Malang:Universitas Negeri Malang.

Rabu, 01 September 2010

PERENCANAAN PENGAJARAN

Perencanaan merupakan suatu proyeksi tentang apa yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan absah dan bernilai. Pengajaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan di mana seseorang dengan sengaja diubah dan dikontrol, dengan maksud agar ia dapat bertingkah laku atau bereaksi terhadap kondisi tertentu. Secara sederhana, perencanaan Pengajaran adalah proses memproyeksikan dari setiap komponen pembelajaran atau bisa juga dikatakan bahwa Perencanaan pengajaran merupakan pemikiran tentang penetrapan prinsip- prinsip umum mengajar didalam pelaksanaan tugas mengajar dalam suatu interaksi pengajaran tertentu yang khusus baik yang berlangsung di dalam kelas ataupun diluar kelas. Menurut Ralph W. Tyler (1975) komponen-komponen pembelajaran meliputi empat unsur yaitu;
1. Tujuan Pembelajaran;
2. Isi Pembelajaran, merupakan isi atau bahan yang akan dipelajari siswa;
3. Kegiatan Pembelajaran;
4. Evaluasi.
Fungsi perencanaan pengajaran adalah sebagai pedoman kegiatan guru dalam mengajar dan pedoman siswa dalam kegiatan belajar yang disusun secara sistematis dan sistemik. Perencanaan pengajaran mempunyai tujuan antara lain:
1.Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran;
2.Untuk melatih guru agar terlatih menjadi guru yang baik dan sistemik;
3.Untuk memperoleh desain pembelajaran yang mengacu pada bagaimana seseorang belajar dan mengacu pada siswa secara perorangan;
4.Untuk menetapkan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Manfaat perencanaan pengajaran dalam proses belajar mengajar antara lain:
1.Sebagai petunjuk arah kegiatan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang dilakukan;
2.Sebagai pola dasar dalam dalam mengatur tugas dan wewenang bagi setiap unsur yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran;
3.Sebagai pedoman kerja bagi setiap unsur , baik guru maupun murid;
4.Sebagai alat ukur keefektifan suatu proses pembelajaran sehingga setiap saat dapat diketahui ketepatan dan kelambanan kerja;
5.Untuk bahan penyusunan data agar terjadi keseimbangan kerja;
6.Untuk menghemat waktu,tenaga,alat dan biaya.

Laju Deforestasi dan Konversi Hutan di Indonesia

Hutan merupakan kawasan yang ditumbuhi pepohonan atau tumbuhan yang berfungsi sebagai habitat fauna, penampung karbon dioksida, pelestari tanah dan sebagai modulator siklus hidrologi dengan iklim dan kondisi lingkungan yang khas daerah setempat. Data dari Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa luas hutan yang ada di Indonesia pada tahun 2005 adalah 93,92 juta hektar. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta hektar pada tahun2005, kawasan hutan itu dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:
1. Hutan tetap : 75,27 juta ha
- Hutan konservasi : 15,37 juta ha
- Hutan lindung : 22,10 juta ha
- Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha
- Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha
2. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.
3. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.
Pemanfaatan hutan harus disesuaikan dengan fungsinya masing-masing, kawasan “hutan tetap” harus dijaga kelestariannya dan tidak dipergunakan untuk kepentingan komersial. Namun pada pertengahan tahun 1960-an mulai terjadi kegiatan komersial hasil hutan dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pengekspor kayu tropis terbesar di dunia. Hal ini menjadi awal dari deforestasi (kerusakan hutan) yang ada di Indonesia. Deforestasi Hutan merupakan penurunan luas hutan baik secara kualitas dan kuantitas. Deforestasi secara kualitas berupa penurunan ekosistem flora dan fauna yang terdapat pada hutan tersebut. Deforestasi secara kuantitas berupa penurunan luas hutan. Menurut data laju deforestasi (kerusakan hutan) periode 2004-2009 yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,17 juta hektar pertahun. Berbeda dengan data yang dikeluarkan dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa angka deforestasi Indonesia per Mei 2010 hanya berkisar 500.000 Ha pertahun.
Data dari Menteri Kehutanan Indonesia pada bulan Juni 2010 menyebutkan bahwa deforestasi hutan yang paling utama disebabkan oleh perambahan (60%), konversi (22%), penggunaan jalan raya (16%), dan sebanyak 0,6% disebabkan oleh pertambangan. Konversi hutan telah membuat sekitar 170.000 Ha hutan yang ada di Indonesia tidak berfungsi sebagaimana mestinya (WALHI, 2010). Penempatan faktor konversi hutan pada peringkat kedua dalam proses deforestasi yang aada di Indonesia juga didukung data dari World Bank. Secara sederhana, konversi hutan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi hutan. Konversi sendiri dapat membawa dampak positif dan negatif, membawa dampak positif apabila konversi tersebut dilakukan sesuai dengan fungsi lahan yang sebenarnya dan tidak mengganggu ekosistem yang ada.
Berkaitan dengan deforestasi dan konversi, Fraser (1996) mengemukakan bahwa pertumbuhan kepadatan penduduk merupakan penjelasan fundamental akan masalah deforestasi di Indonesia. Data kepadatan penduduk tiap propinsi di Indonesia menunjukkan hubungan terbalik dengan data tutupan hutan. Beberapa penulis telah melihat hubungan ini (FAO 1990:10; Barbier et al. 1993:7; Fraser 1996) menyatakan bahwa pada tiap 1% kenaikan penduduk (kenaikan penduduk di pulau-pulau di luar pulau Jawa adalah 3%) terjadi penurunan kira-kira 0,3% tutupan hutan.
Peningkatan kepadatan penduduk seiring dengan permintaan konversi hutan untuk kepentingan pembangunan perkebunan terus mengalami peningkatan yang pesat, sehingga mengakibatkan luas hutan konversi terus mengalami penurunan. Bila tahun 1984 luas hutan konversi masih mencapai 30 juta Ha maka pada tahun 1997 tinggal 8,4 juta Ha. Dalam lima tahun (1993/1994 - 1997/1998) pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan pada tahap persetujuan pelepasan mencapai 4.614.124,78 Ha.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa konversi yang terjadi di Indonesia disebabkan karena peningkatan pemenuhan kebutuhan ekonomi penduduk sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk. Konversi hutan juga memegang peran utama dalam kegiatan deforestasi hutan.