KONSEP LAHAN ANTROPOGENIK
Bentuk lahan atau Iandform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula (Marsoedi, 1996). Sukmantalya (1995), menjelaskan bahwa bentuk lahan merupakan suatu kenampakan medan yang terbentuk oleh proses alami, memiliki komposisi tertentu dan karakteristik fisikal dan visual dengan julat tertentu yang terjadi dimanapun bentuk lahan tersebut terdapat. Lebih lanjut Gunadi (1991) mengemukakan bahwa berkaitan dengan data bentuk-lahan, tanah, hidrologi, dan sebagainya, dapat merumuskan alternatif-Alternatif dan strategi pengembangan guna perencanaan penggunaan lahan. Sedangkan (Way 1973 dalam Zuidam, 1979), bahwa bentuk lahan adalah kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses alami yang mempunyai susunan tertentu dan julat karakteristik fisik dan visual di mana bentuk lahan itu terbentuk. Verstappen (1983), mengemukakan bahwa ada beberapa faktor geomorfologi mayor yang berpengaruh dalam pengembangan lahan yaitu bentuk lahan, proses geomorfologis, dan kondisi tanah. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa bentuklahan mencakup kemiringan lahan, proses geomorfologi; mencakup banjir, tanah longsor, dan bahaya dari proses alam yang merugikan, sedangkan mengenai kondisi tanah, antara lain mencakup kedalaman batuan dari pelapukan material. Karakteristik geomorfologis dalam hal ini bentuk lahan/medan memberikan informasi yang dapat menentukan dalam penggunaan lahan suatu daerah tertentu.
Antropogenik merupakan proses atau akibat yang berkaitan dengan dengan aktivitas manusia. Sehingga bentuk lahan antropogenik dapat disebut sebagai bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dapat berupa aktivitas yang telah disengaja dan direncanakan untuk membuat bentuk lahan yang baru dari bentuk lahan yang telah ada maupun aktivitas oleh manusia yang secara tidak sengaja telah merubah bentuk lahan yang telah ada.
Bentuk lahan antropogenik dapat dibentuk dari bentuk-bentuk lahan yang telah ada. Misalnya bentuk lahan marin yang dapat berubah menjadi pelabuhan dan pantai reklamasi seperti yang terdapat pada pantai Marina Semarang, dan bentuk lahan struktural dan fluvial dapat berubah menjadi waduk serta bentuk lahan struktural dan denudasional dari bukit yang telah mengalami perubahan bentuk akibat aktivitas manusia seperti yang terjadi di bukit Ngoro Mojokerto.
Contoh dari bentuk lahan antropogenik berbeda dengan contoh dari penggunaan lahan. Misalnya sawah dan permukiman, kedua contoh ini bukan merupakan bentuk lahan antropogenik melainkan termasuk pada bentuk penggunaan lahan atau landuse karena sawah dan permukiman tidak merubah bentuk lahan yang telah ada, sawah dan permukiman hanya termasuk upaya pemanfaatan dari permukaaan bentuk lahan. Bisa saja sawah ada di dataran bentuk lahan aluvial, di lereng gunung, atau bahkan di gumuk pasir. Begitu juga dengan permukiman juga bisa terdapat di dataran rendah, dataran tinggi, lembah, maupun kaki lereng, namun keberadaan sawah dan permukiman tersebut tidak bisa digolongkan dalam bentuk lahan antropogenik.
AKTIVITAS MANUSIA YANG MENYEBABKAN TERBENTUKNYA LAHAN ANTROPOGENIK
Manusia dan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari baik secara sadar maupun tidak sadar dapat menyebabkan perubahan pada bentuk lahan yang telah ada menjadi bentuk lahan antropogenik. Aktivitas tersebut antara lain:
• Aktivitas reklamasi misalnya pada pantai.
• Aktivitas pembangunan pemanfaatan lahan yang menyebabkan perubahan yang mencolok pada bentuk lahan.
• Aktivitas penambangan atau pengambilan material yang dapat menyebabkan perubahan pada bentuk lahan.
Aktivitas antropogenik di Indonesia banyak jumlahnya, namun tidak semuanya menghasilkan bentuk lahan yang potensial. Misalnya aktivitas reklamasi pada pantai dapat menyebabkan erosi dan abrasi pada pantai tersebut. Aktivitas pembangunan waduk yang kurang tepat juga menyebabkan kerusakan pada daerah tangkapan hujan sekitar waduk sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan tanah berupa rekahan dan retakan tanah. Oleh karena itu, aktivitas antropogenik dalam merubah lahan hendaknya memperhatikan dampak terhadap lahan disekitarnya.
ANALISIS CONTOH BENTUK LAHAN ANTROPOGENIK DI INDONESIA
Contoh lahan antropogenik yang ada di Indonesia yaitu Pantai Marina Semarang, yang terbentuk karena proyek reklamasi pantai, waduk, pelabuhan, dan bukit Ngoro yang ada di Mojokerto.
1. Pantai Marina Semarang
Desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan wilayah pantai yang seharusnya menjadi wilayah penyangga daratan menjadi tidak dapat mempertahankan fungsinya. Daerah sepadan pantai, dihitung 100 meter dari pantai pada waktu pasang tertinggi, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, tidak bebas lagi dari kegiatan pembangunan, misalnya kegiatan reklamasi. Makna reklamasi dalam arti yang sebenarnya adalah upaya memperbaiki daerah yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sebagaimana disebutkan di atas (Ensiklopedia Nasional Indonesia dalam Pratikto, 2004). Reklamasi merupakan upaya meningkatkan sumber daya alam lahan dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan cara pengurangan atau dengan pengeringan lahan.
Pantai Marina Semarang merupakan pantai yang terbentuk karena aktivitas reklamasi. Kawasan yang direklamasi tersebut memanjang sesuai dengan bibir atau garis pantai. Dengan pola reklamasi yang demikian, maka ini akan melewati daerah tambak yang dimiliki oleh petambak pada daerah tepi pantai. Lebih lanjut reklamasi ini mengarah ke laut. Hal ini melihat daerah yang direklamasi cukup luas yaitu sekitar 200 hektar. Padahal daerah yang sebagian merupakan area tambak kurang produktif yaitu hanya 80 hektar.
Pelaksanaan pembangunan reklamasi ini tidak dilakukan dalam satu tahap, namun kegiatan tersebut akan dilakukan dalam beberapa tahap. Pada tahap awal kegiatan yang dilakukan adalah melakukan penimbunan atau pengurukan dengan material sebanyak 5 juta m3. Material tersebut diambil dari kawasan industri candi, sedangkan sisanya diambil dari daerah sekitar lokasi. Total material pengurukan adalah 15 juta m3. Material yang digunakan berupa batuan vulkanik dan breksi. Pada bagian bawah diisi dengan breksi. Kemudian diatasnya diisi dengan batuan vulkanik. Dengan kondisi tersebut, material timbunan mengalami penurunan atau penyusutan. Kemudian pada tahap selanjutnya dilakukan penimbunan kembali sesuai dengan target.
Secara geologi pantai marina merupakan pantai yang tersusun oleh sedimentasi laut dan sungai serta terdapat endapan aluvium delta yang berumur kuarter. Material aluvium delta yang berupa batu lempung merupakan litologi yang belum terkompaksi secara utuh apalagi ditambah adanya intrusi air laut yang diakibatkan penggunaan air tanah secara berlebihan sehingga akuifer dangkal yang ada menjadi rusak dan terintrusi oleh air laut. Hal ini karena dipesisir pantai marina digunakan sebagai kawasan pariwisata dan perkantoran serta kawasan huni mewah yang sangat banyak membutuhkan air bersih sehingga banyak yang melakukan pengeboran sumur artesis yang mencari lapisan akuifer dalam sehingga terjadi proses kerusakan akuifer dan berdampak pada proses land subsidence didaerah pesisir utara dan secara morfogenesa kawasan pantai marina merupakan daerah pantai genetik yang endapannya tersusun oleh endapan material laut dan sedimentasi sungai. Namun penyalahgunaan fungsi sungai sebagai bahan pembuangan limbah menjadikan daerah kawasan pantai marina menjadi daerah yang kotor. Dari gelombang laut menurut data pasang surut pada bab sebelumnya menunjukan bahwa pantai marina merupakan daerah yang bergelombang menengah keatas sehingga perlunya dilakukan penerapan sistem hijau pantai yang diperlukan sebagai kawasan transisi dan menjaga kestabilan daerah darat dari proses abrasi air laut yang berlebihan.
Berdasarkan peta geologi lingkungan daerah pantai marina merupakan daerah pantai yang jelek akibat endapan litologi berupa napal dan lempung dan gejala amblesan dan pemakaian air tanah yang dieksploitasi secara berlebihan menyebabkan kerusakan stratigrafi daerah utara semarang yang berumur kuarter, serta adanya proses pembebanan pondasi bangunan yang tidak memperhatikan kestabilan dan daya dukung tanah ketika melakukan pembangunan dan pengubahan kawasan hutan bakau menjadi daerah terbuka membuat tingkat lingkungan pantai marina rusak berlebihan secara kuantitatif dan fisik sehingga perlu dilakukan pemulihan dan konservasi lingkungan. Hal lain perlu ditambahkan bahwa reklamasi pantai semarang seharusnya juga memperhatikan daerah aliran sungai dan tingkat kestabilan tanah serta kajian geologinya sehingga perlu penyelidikan tingkat lanjut untuk mengetahui sebaran dan tebal endapan litologi satuan batuan alluvium dan lempung. Hal ini diperlukan sebagai bahan referensi didalam pengelolaan wilayah tingkat lanjut.
Pantai Marina termasuk dalam lahan antropogenik karena pantai ini telah mengalami perubahan yaitu perubahan perubahan kondisi morfologi pantai. Batas pantai atau garis pantai menjadi lebih menjorok ke arah laut.
2. Waduk
Waduk adalah kolam besar tempat menyimpan air sediaan untuk berbagai kebutuhan. Waduk dibangun dengan cara membuat bendungan yang lalu dialiri air sampai waduk tersebut penuh. Waduk dapat terbentuk dari bentuk lahan lain yang telah ada. Misalnya berasal dari bentuk lahan struktural dan fluvial. Waduk merupakan bentuk lahan antropogenik karena terbentuk oleh aktivitas manusia yang merubah lahan menjadi berbentuk cekungan.
Dalam pembuatan waduk selain harus memperhatikan teknik-teknik dalam pembuatan waduk juga harus memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak sampai merusak daerah tangkapan hujan yang dapat menyebabkan rusaknya lahan biasanya ditandai dengan rekahan dan retakan pada tanah. Masalah utama yang dihadapi oleh waduk di Indonesia adalah masalah erosi dan sedimentasi yang terjadi di daerah tangkapan dan teknologi konservasi yang diterapkan. Erosi merupakan suatu proses penghanyutan tanah oleh kekuatan air dan angin, baik yang terjadi secara alamiah maupun sebagai akibat tindakan atau perbuatan manusia. Banyak sedikitnya partikel tanah tererosi sangat dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, bentuk kewilayahan atau topografi, vegetasi dan faktor aktivitas manusia terhadap tanah. Erosi mengakibatkan terjadinya pemindahan butiran tanah ke tempat lain melalui suatu proses yang dinamakan angkutan sedimen.
3. Pelabuhan
Pemanfaatan dan pengusahaan lahan pantai oleh manusia banyak menimbulkan perubahan fisik bentang lahan yang nyata. Misalnya konstruksi bangunan pantai yang berbentuk pelabuhan. Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Pelabuhan termasuk lahan antropogenik karena bentuknya telah merubah bentuk lahan pesisir sebelumnya.
Di bawah ini hal-hal yang penting agar pelabuhan dapat berfungsi:
• Adanya kanal-kanal laut yang cukup dalam (minimum 12 meter)
• Perlindungan dari angin, ombak, dan petir
• Akses ke transportasi penghubung seperti kereta api dan truk.
Pembangunan pelabuhan hendaknya memperhatikan aspek lokasi agar pelabuhan dapat berfungsi secara efektif dan tidak mengancam lahan sekitar. Misalnya pembangunan pelabuhan Indonesia cabang Pontianak yang dibangun di tepi sungai yang dapat menyebabkan pendangkalan yang disebabkan oleh erosi daerah hulu.
4. Bukit Ngoro Mojokerto
Gambar daerah di sekitar bukit Ngoro Mojokerto
Bukit Ngoro terletak di sekitar daerah perbukitan dan patahan watukosek mojokerto. Bukit ini merupakan bukit dari bentuk lahan asal struktural yang kemudian telah mengalami degradasi akibat aktivitas masyarakat sekitar yaitu adanya penambangan pasir dan pengambilan material yang dimanfaatkan sebagai tanggul lumpur lapindo Sidoarjo.
Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri dan bioindustri. Lima proses utama yang terjadi timbulnya tanah terdegradasi, yaitu: menurunnya bahan kandungan bahan organik tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi tanah, deplesi dan pencucian unsur hara (Lal, 1986). Khusus untuk tanah-tanah tropika basah terdapat tiga proses penting terjadinya degradasi tanah, yaitu:
1) degradasi fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan, dan erosi dipercepat.
2) degradasi kimia berhubungan dengan terganggunya siklus C, N, P, S dan unsur lainnya.
3) degradasi biologi berhubungan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah.
Pada Bukit Ngoro Mojokerto proses degradasi yang nampak ialah proses degradasi fisik yang ditandai dengan proses memburuknya struktur dan pemadatan tanah serta erosi tanah.
DAMPAK DARI TERBENTUKNYA LAHAN ANTROPOGENIK TERHADAP LAHAN DISEKITARNYA
Setiap lahan antropogenik yang terbentuk mempunyai dampak terhadap lahan sekitarnya. Berikut penjelasan dampak dari terbentuknya lahan antropogenik terhadap lahan sekitarnya pada setiap contoh-contoh lahan antropogenik yang telah disebutkan di atas.
1. Pantai Marina Semarang
Dampak yang paling menonjol adalah secara fisik yaitu perubahan kondisi morfologi pantai. Batas pantai atau garis pantai menjadi lebih menjorok ke arah laut. Perubahan garis pantai mengakibatkan perubahan arus mengarah ke pantai. Arus yang sedianya dapat tertahan di Pantai Marina kemudian berubah arah masing-masing ke arah barat dan timur. Arus yang ke arah timur memiliki arus yang relatif besar dengan tidak membawa sedimen laut. Pada arus ini akan mengakibatkan abrasi terhadap pantai. Akibat abrasi pantai sekitar lima hektare lahan yang telah diuruk hilang.
Abrasi diduga di antaranya disebabkan perubahan pola arus yang diakibatkan anjungan/pemecah ombak yang dibangun sebuah industri di sebelah barat desa. Petambak (pemilik dan penggarap) yang hidupnya bergantung pada sumber daya pesisir mengalami kerugian akibat berkurangnya lahan tambak dan penurunan pendapatan akibat menurunnya produksi tambak dan tangkapan yang dipicu oleh abrasi dan pencemaran.
Selain abrasi, reklamasi Pantai Marina secara umum berpengaruh pada terjadinya erosi pantai di Sayung, Demak. Padahal, daerah tersebut dahulunya merupakan kawasan sedimentasi. Namun sekarang kondisinya sudah berbeda jauh, di kawasan pantai itu banyak yang mengalami erosi. Reklamasi atau pengurukan kawasan pantai akan mengubah sifat arus yang kemudian berdampak pada erosi pantai di daerah lain. Karena itu, setiap ada pengurukan kawasan pantai harus diwaspadai sifat arus pantai. Sifat arus air di Pantai Semarang berputar ke timur karena pada sisi timur Semarang terdapat tanjung. Arus air yang berputar seperti itu menyebabkan rawan erosi, perubahan fisik pantai, dan sedimentasi pantai dapat berubah. Selain mengakibatkan dampak tersebut, reklamasi pantai juga akan menambah jarak tempuh air sungai. Hal ini berpengaruh pada keterbentukan sedimentasi di muara yang lama sehingga terjadi pendangkalan di sana.
2. Waduk
Dampak dari pembangunan waduk yang dislokasi dapat menyebabkan kerusakan pada daerah tangkapan hujan, karena kadangkala lahan awal sebelum dibangun waduk adalah hutan atau daerah tangkapan hujan. Perubahan tata guna lahan tersebut mengubah karakteristik hidrogeografis kawasan tersebut dan secara langsung mengancam kelestarian tata guna airnya.
Di waktu hujan, air tidak tertahan secara memadai di permukaan tanah sehingga proses penyerapannya ke dalam tanah atau penguapan ke udara yang tidak memungkinkan. Akibatnya, air hujan dilimpaskan begitu saja ke permukaan tanah. Semakin besar jumlah air yang dilimpaskan, semakin pendek pula waktu retensinya. Tak pelak, keadaan tersebut dapat menyebabkan banjir besar yang datang secara mendadak.
Sebaliknya, berkurangnya vegetasi penutup lahan pada musim kemarau akan menyebabkan penguapan yang sangat tinggi dari permukaan tanah sehingga timbul kerusakan pada lapisan tanah berupa rekahan dan retakan tanah. Selain itu juga dapat menyebabkan penurunan aliran air permukaan yang berasal dari air tanah atau yang biasa disebut Base Flow.
Puluhan waduk di Indonesia telah mengalami erosi dan sedimentasi. Erosi menyebabkan terjadinya pemindahan butiran tanah ke tempat lain melalui suatu proses yang dinamakan angkutan sedimen. Pengendapan tersebut paling banyak terjadi pada waduk yang digunakan sebagai irigasi. Karena tidak menutup kemungkinan terjadi pula pengendapan di bagian hulu bendung irigasi maupun saluran pembawa (primer, sekunder, maupun tersier) air irigasi.
Namun, apabila pembangunannya tepat keberadaan waduk justru menjadi tempat menyuplai air, sehingga pada saat musim kemarau tidak kekurangan air dan pada saat musim hujan tidak terjadi banjir, sehingga keadaaan dan dapat dijadikan sebagai pembangkit listrik tenaga air, sehingga pasokan listrik bagi masyarakat bisa terpenuhi.
3. Pelabuhan
Pembangunan pelabuhan bisa menimbulkan dampak yang kurang baik pada lingkungan. Banyak pembangunan pelabuhan yang tidak memperhatikan aspek lokasi yang akan digunakan, pengalihfungsian lahan kerap terjadi, sehingga hal ini sangat merugikan karena lahan yang diambil alih ini justru lahan yang potensial. Sebagai contoh pembangunan pelabuhan Indonesia cabang Pontianak yang dibangun di tepi sungai yang dapat menyebabkan pendangkalan yang disebabkan oleh erosi daerah hulu dan pembangunan pelabuhan Tanjung Api-api yang ada di Provinsi Sumatera Selatan mengakibatkan rusaknya hutan bakau (mangrove) dan hutan nipah, ancaman kepunahan sejumlah satwa langka, hingga jeritan kerugian masyarakat lokal akibat rusaknya perkebunan kelapa.
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Padahal mangrove berfungsi sebagai :
• Penahan abrasi pantai.
• Penahan intrusi (peresapan) air laut.
• Penahan angin.
• Menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai.
Gambar hutan bakau (mangrove)
Abrasi merupakan peristiwa terkikisnya alur-alur pantai akibat gerusan air laut. Gerusan ini terjadi karena permukaan air laut mengalami peningkatan. Proses terjadinya abrasi karena faktor alam disebabkan oleh angin yang bertiup di atas lautan yang menimbulkan gelombang dan arus laut sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis daerah pantai. Gelombang yang tiba di pantai dapat menggetarkan tanah atau batuan yang lama kelamaan akan terlepas dari daratan. Abrasi terjadi ketika angin yang bergerak di laut menimbulkan gelombang dan arus menuju pantai. Arus dan angin tersebut lama kelamaan menggerus pinggir pantai. Gelombang di sepanjang pantai menggetarkan tanah seperti gempa kecil. Kekuatan gelombang terbesar terjadi pada waktu terjadi badai sehingga dapat mempercepat terjadinya proses abrasi.
Dampak lain yang terjadi ialah adanya intrusi. Intrusi diartikan sebagai perembesan air laut ke daratan, bahkan sungai. Suatu kawasan yang awalnya air tanahnya tawar kemudian berubah menjadi lagang dan asin seperti air laut. Intrusi dapat berakibat rusaknya air tanah yang tawar dan berganti menjadi asin. Penyebabnya, antara lain penebangan pohon bakau, penggalian karang laut untuk dijadikan bahan bangunan dan kerikil jalan. Pembuatan tambak udang dan ikan yang memberikan peluang besar masuknya air laut jauh ke daratan, serta pembangunan pelabuhan yang menyebabkan hilangnya hutan bakau atau mangrove.
5. Bukit Ngoro Mojokerto.
Pada Bukit Ngoro Mojokerto dampak yang paling signifikan adalah adanya proses degradasi fisik yang ditandai dengan proses memburuknya struktur dan pemadatan tanah serta erosi tanah. Memburuknya struktur dan pemadatan tanah lebih disebabkan oleh aktivitas penambangan pasir secara besar-besaran oleh masyarakat sekitar. Sedangkan pada ancaman erosi tanah disebabkan oleh hilangnya vegetasi penutup lahan dan kurangnya kemampuan tanah dalam menyerap air. Vegetasi penutup lahan hilang karena sebagian material dari bukit tersebut diambil untuk membuat tanggul penahan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Kedua bentuk degradasi tersebut dapat menyebabkan banjir dan longsor pada daerah kaki lereng yang dapat mengancam permukiman warga di sekitarnya.
UPAYA UNTUK MENGATASI DAMPAK DARI TERBENTUKNYA LAHAN ANTROPOGENIK DI INDONESIA
Berdasarkan analisis dari contoh bentuk lahan antropogenik di Indonesia, sebagian besar lahan antropogenik yang ada berpotensi memberi dampak buruk terhadap lahan di sekitarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, berikut adalah upaya untuk mengatasi masing-masing dampak yang telah ditimbulkan oleh terbentuknya masing-masing contoh lahan antropogenik di atas.
1. Pantai Marina Semarang.
Dampak yang ditimbulkan akibat reklamasi pantai marina adalah erosi dan abrasi. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi abrasi yang terjadi yaitu dengan melakukan penanaman mangroove disekitar pantai. Dengan adanya hutan mangroove diharapkan abrasi yang terjadi intensitasnya akan lebih kecil. Manfaat lainya yaitu biota laut juga dapat hidup dan tumbuh dengan baik sehingga ikan dapat berkembang biak. Kondisi yang demikian ini dapat menguntungkan nelayan sehingga mereka tidak perlu jauh-jauh mencari ikan ke tengah laut.
Langkah lain yang dapat dilakukan adalah dengan membangun dam lepas pantai serta sekat pantai. Fungsi dari bangunan tersebut untuk menahan gelombang serta memecah gelombang, sehingga gelombang laut yang datang dapat ditahan dan intensitasnya tidak terlalu besar ketika menyentuh pantai. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa gelombang yang datang tersebut dapat menyentuh garis pantai. Meskipun demikian intensitasnya rendah sehingga tidak menyebabkan pengikisan atau abrasi yang parah.
Pembuatan jari-jari yang menjulur ke laut dengan bahan bambu juga dimungkinkan untuk mengurangi tingkat abrasi terhadap pantai. Jari-jari ini panjangnya dapat disesuaikan dengan kedalaman yang dapat dicapai oleh bambu. Lebar yang dibangun berkisar 1 m. Dengan pembuatan jari-jari tersebut diharapkan sedimen laut yang terbawa arus dapat terendapkan disekitar kanan dan kiri jari-jari.
Langkah yang cukup efektif adalah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah kota. Isi dari undang-undang tersbut berupa tata aturan yang lebih detail dan lebih sempit tentang reklamasi, sehingga ketika ada pengembang atau kotraktor yang akan melakukan reklamasi tidak akan melakukan dengan sembarangan. Selain itu juga agar lokasi yang akan direklamasi tidak menyalahi aturan serta hanya area yang diperbolehkan saja untuk dilakukan reklamasi.
2. Waduk
Masalah utama yang dihadapi oleh waduk di Indonesia adalah masalah erosi dan sedimentasi, baik yang terjadi secara alami maupun disebabkan karena aktivitas manusia. Proses erosi dan sedimentasi dapat diminimalisasi dengan pengelolaan daerah tangkapan hujan di sekitar daerah waduk untuk menjaga fungsi daerah resapan air. Selain dapat menjaga kualitas dan kuantitas air waduk juga dapat mengurangi laju erosi dan sedimentasi. Masyarakat sekitar juga harus lebih peka terhadap waduk dengan tidak mencemari waduk tersebut karena lebih lanjut dapat menyebabkan proses sedimentasi yang berakibat banjir ketika musim hujan.
3. Pelabuhan
Dampak yang paling menonjol pada terbentuknya pelabuhan yang tidak tepat adalah adanya abrasi dan intrusi. Kedua fenomena ini dapat dicegah dengan penanaman hutan bakau di daerah pesisir. Bangunan penahan gelombang juga dibutuhkan untuk memperkecil adanya abrasi. Pembangunan pelabuhan di wilayah pesisir tidak seharusnya merusak hutan bakau yang telah ada karena dapat menyebabkan intrusi. Apabila hal ini terjadi, maka masyarakat pesisir harus peka terhadap lingkungan sekitarnya. Masyarakat diharapkan tidak mengambil air yang berasal dari air permukaan tanah saja karena apabila dilakukan pengambilan air tanah dapat menyebabkan intrusi semakin parah disebabkan oleh adanya pertemuan lapisan tanah permeabel yang mengandung air (akuifer) dengan perairan laut.
4. Bukit Ngoro Mojokerto
Keadaan fisik bukit Ngoro Mojokerto saat ini sangat memprihatinkan. Karena selain banyaknya kehilangan vegetasi penutup lahan, vegetasi yang ada pun dalam keadaan kering. Selain itu tanda-tanda erosi sudah nampak, dan lebih lanjut dapat menyebabkan longsor atau banjir pada daerah di sekitarnya. Meskipun aktivitas penambangan pasir telah berkurang, namun sebaiknya aktivitas tersebut dihentikan karena sangat berbahaya. Begitu juga dengan aktivitas pengambilan material untuk tanggul penahan lumpur juga harus dihentikan. Material untuk tanggul penahan lumpur Lapindo dapat disubstitusi dengan material lain.
Hal yang sangat dibutuhkan adalah penanaman vegetasi di seluruh daerah bukit tersebut. Meskipun lahan bukit tersebut tidak dimanfaatkan, namun tetap harus dirawat agar tidak berbahaya bagi kehidupan yang ada di sekitarnya. Lebih jauh, penanaman vegetasi juga dapat mempertahankan kuantitas ketersediaan air pada daerah tersebut.
KESIMPULAN
Antropogenik merupakan proses atau akibat yang berkaitan dengan dengan aktivitas manusia. Sehingga bentuk lahan antropogenik dapat disebut sebagai bentuk lahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Aktivitas tersebut dapat berupa aktivitas yang telah disengaja dan direncanakan untuk membuat bentuk lahan yang baru dari bentuk lahan yang telah ada maupun aktivitas oleh manusia yang secara tidak sengaja telah merubah bentuk lahan yang telah ada.
Contoh dari bentuk lahan antropogenik berbeda dengan contoh dari penggunaan lahan. Misalnya sawah dan permukiman, kedua contoh ini bukan merupakan bentuk lahan antropogenik melainkan termasuk pada bentuk penggunaan lahan atau landuse karena sawah dan permukiman tidak merubah bentuk lahan yang telah ada.
Manusia dan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari baik secara sadar maupun tidak sadar dapat menyebabkan perubahan pada bentuk lahan yang telah ada menjadi bentuk lahan antropogenik. Contoh lahan antropogenik yang ada di Indonesia yaitu Pantai Marina Semarang, yang terbentuk karena proyek reklamasi pantai, waduk, pelabuhan, dan bukit Ngoro yang ada di Mojokerto.
Setiap lahan antropogenik yang terbentuk mempunyai dampak terhadap lahan sekitarnya. Sebagian besar dampak yang ditimbulkan oleh terbentuknya lahan antropogenik adalah berdampak buruk bahkan mengancam lahan yang ada di sekitarnya. Manusia harus lebih memahami akibat dari dampak tersebut dan tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi dalam mengubah bentuk lahan. Setiap kerusakan bentuk lahan yang telah terjadi harus segera diatasi.
SARAN
Pengubahan bentuk lahan harus lebih memperhatikan aspek kalingkungan karena setiap perubahan tersebut akan membawa dampak terhadap lahan di sekitarnya. Pada contoh-contoh bentuk lahan yang ada di Indonesia, sebaiknya segera diatasi karena berbahaya bagi kehidupan yang ada di lahan sekitarnya.
Masalah abrasi dan erosi yang terjadi akibat terbentuknya pantai marina dan pelabuhan dapat diatasi dengan adanya penanaman hutan bakau di sekitar daerah pesisir. Langkah lain yang dapat dilakukan adalah dengan membangun dam lepas pantai serta sekat pantai. Selain itu, dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah kota.
Dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan waduk dan perubahan pada bukit Ngoro dapat diatasi dengan adanya penanaman vegetasi yang dapat mengurangi terjadinya erosi dan banjir juga dapat mempertahankan kuantitas air di daerah sekitar lahan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Herlambang, Sudarno Drs. M.Si. 2009. Bahan Ajar Dasar-Dasar Geomorfologi.
Malang : Universitas Negeri Malang.
Suara Merdeka. 2009. Dampak Reklamasi Pantai Marina Semarang,(online).
(http://www.suaramerdeka.com//, diakses tanggal 25 Oktober 2009 pukul
13.00 WIB)
Sunaryo, Trie M, Ir. M.Eng. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Air. Malang :
Bayumedia.
sankyu ilmu nya..
BalasHapuseniwei, salam geografi!!
XD